[Flash Fiction] Pelajaran dari setangkai Dandelion liar...

>> Jumat, 18 Januari 2013


Aku berjalan di keramaian orang. Aku berusaha menjauhi tempat itu. Ya, sebuah bangunan megah tempat aku menimba ilmu selama beberapa tahun terakhir. Kampus tempat orang-orang pilihan katanya.

Langkahku tersaruk. Ada tetesan embun yang bersarang di mataku. Aku ingin tetap terlihat biasa saja dan dapat menyimpan tangisku dalam samar senyum yang biasa kupahat dengan paksa. Namun sayangnya tak semudah yang aku bayangkan...

Mimpi masa kecil itu selalu menggoyahkanku di jalan yang saat ini sedang kujalani. Mimpi polos seorang anak kecil yang menganggap bahwa ia akan selalu dapat menjadi seperti apa yang ia inginkan jika kelak ia beranjak dewasa. Namun ternyata tak semudah yang dibayangkan.

Awalnya aku percaya aku dapat meyakinkan ayah dengan pilihanku menjadi seorang penulis. Tapi apa yang aku dapatkan? Ayah menentang keras keinginanku. Ayah tak terima dengan cita-cita yang ia pikir hanya mimpi di negeri dongeng. Sungguh cita-cita yang tidak realistis.

Dan sejak saat itu, aku mencoba melupakan segala kenanganku bergelut dalam dunia tulis sejak di bangku SMP tersebut. Aku mencoba menjalani pilihan yang ayah pilihkan padaku. Kau tahu, rasanya sangat sulit sekali—err, aku seperti mengangkut berkarung-karung beban batin yang harus kupikul di pundakku. Aku mulai merasa membenci segala hal di sekitarku. Aku seperti tak memiliki tujuan hidup. Karena bukankah hidupku ayahlah yang mengaturnya?

Satu hal yang aku tahu pasti. Aku mulai menganggap segala sesuatunya sebagai musuhku. Musuh yang mencoba untuk mengekangku menuju jalan kebahagiaan yang aku sejatinya kudambakan.

Aku kini benar-benar terjatuh. Tersungkur tak berdaya di padang rumput yang menjauhi bangunan kampus.
Aku menghapus air mataku dengan kasar menggunakan punggung telapak tanganku. Kugapai bunga dandelion berwarna putih bagai kapas yang ada di hadapanku.


Ah, sejujurnya bunga liar ini selalu membuatku iri. Tak bisakah aku belajar darinya?


Bunga ini tak pernah sama sekali menyalahkan takdir. Menyalahkan kuasa Tuhan. Ia hanya mengikuti kemana angin menerbangkan kelopaknya. Ia hanya mengikuti jalan yang digariskan Tuhan padanya. Tanpa pernah sekalipun mengeluh. Tanpa pernah sekalipun menghakimi kuasa Tuhan. Tanpa pernah memusuhi segala hal...


Bahkan tak berhenti sampai disitu saja. Bunga dandelion itu selalu dapat tumbuh subur dimanapun ia ditempatkan. Yang ia tahu, ia hanya harus terus hidup memberikan kebaikan di tempat manapun yang ditakdirkan baginya. Suka ataupun tidak suka dirinya...



Bunga dandelion selalu melakukannya dengan tulus. Membalas senyuman pada takdir yang menghujatnya.
Bunga dandelion...bisakah aku bertanya satu hal padamu?




“Bisakah mulai sekarang aku mencoba untuk menerima takdirku dijalan yang Tuhan berikan itu sekali lagi? Aku hanya ingin membuat semuanya tersenyum Aku hanya ingin membuat ayah tersenyum. Biarkanlah berkorban sedikit, yang terpenting adalah aku hanya ingin tahu bahwa semua orang di sekitarku sedang tersenyum dan bahagia karena aku. Dandelion, bisakah kau mengingat semua yang kukatakan ini? Karena mulai saat ini aku berharap sebagian aku adalah dirimu....”

0 komentar:

About this Blog

Seguidores

    © Summervina. Friends Forever Template by Emporium Digital 2009

Back to TOP