DraMione Fanfiction (Indonesia): When You’re Gone

>> Minggu, 29 Juli 2012

Author            : Anastasia Ervina a.k.a V-chan
Title                : When You’re Gone
Genre              : Romance-Angst
Type                : One Shot
Rating             : General

Cast                 : Draco Malfoy & Hermione Granger (DraMione)

Disclaimer         : Semua karakter adalah kepunyaan J.K Rowling. Saya hanya memiliki ide dan plot cerita ^^

Theme songs   : 
-When You’re Gone by Avril Lavigne
- Nada Sousou by Natsukawa Rimi
-Wo Ai Ta (Ost. Autumn’s Concerto) by Della Ding


A/n                  : I wrote this story because My Uncle. For  My Uncle, please take a rest peacefully in the Heaven now :')


Untuk kalimat/ Paragraf yang berwarna ungu menandakan bahwa bagian itu adalah berupa ‘Ingatan Masa Lalu Hermione’.
Selamat membaca...

Dan untuk Stefani Febrina, ini Fanfic DraMione-nya. Tapi maaf lagi-lagi Angst *kabur*




***
Wanita itu dengan segala kabut yang menyelimuti hatinya duduk di samping perapian, menghadap ke luar jendela. Syal rajut berwarna merah gelap membebat lehernya dengan sempurna, mencegah agar hanya sedikit saja dingin yang dapat menggerogotinya—walau sebenarnya di dalam hatinya hampir beku. Hampir membentuk bongkahan batu yang dingin dan keras.

Manik hazelnya mengikuti butiran salju yang jatuh perlahan-lahan dari langit yang diwarnai kepekatan di malam Natal tersebut. Langit itu bahkan menelan rakus penerang malam; bintang-bintang dan bulan. Keadaan langit itu sekilas tampak sama dengan wanita berambut cokelat semak itu. Suram. Tak bercahaya.
Kini ia membiarkan lembaran-lembaran cerita lama melintas dibenaknya...



“Hei, Zabini. Lihatlah! Ada Mudblood di ruangan ini. Pantas saja badanku langsung gatal-gatal begini. Kau tau kan, mereka sangat kotor dan menjijikan. Kurasa aku harus menjauhi mereka setidaknya dari radius dua meter!” ujar seorang pemuda jangkung berambut pirang platina yang baru saja memasuki Ruang Perpustakaan kepada kedua rekannya—err, atau pengawalnya?

Mendengar perkataan pemuda jangkung itu, kedua rekannya—yang merangkap sebagai pengawal pribadinya—tertawa terbahak-bahak. Dengingan tawa itu tampaknya sangat mengundang kemarahan gadis yang sejak tadi duduk menyelami berpuluh-puluh buku tebal di sudut Ruang Perpustakaan yang semula senyap—sebelum kedatangan tiga begundal Slytherin tentu saja. Gigi gadis itu bergemeletuk menahan amarah yang sejak tadi dibendungnya. 

“ Kau pikir itu cukup lucu, Malfoy?!” Kini gadis berambut semak kecoklatan itu telah berdiri sembari mengemas buku-bukunya. Ia telah kehilangan nafsu membacanya hanya karena kedatangan pemuda yang mengaku sebagai ‘Pangeran Slytherin’ itu. “ Asal kau tau saja, aku bahkan tak cukup kuat berada satu ruangan denganmu hanya karena rambut pirang platinamu yang bisa membuat siapa pun yang memandangnya menderita rabun mendadak. Well, diusiamu yang cukup muda seperti sekarang, rambutmu telah membuatmu terlihat seperti seorang kakek-kakek tua renta yang tak berdaya. Oh, betapa malang nasibmu, Malfoy~” ujar gadis itu lagi dengan ekspresi wajah dan nada bicara yang dibuat-buat seolah terlihat seakan ‘mengasihani’ pemuda jangkung itu. 

Demi mendengar perkataan gadis berambut semak barusan, baik Blaise maupun Theo  tanpa sadar tertawa terbahak-bahak. Mereka membayangkan dengan tampang geli betapa konyolnya seorang Draco Malfoy dengan wujud kakek-kakek tua renta. Dan tambahkan pula; dalam kondisi yang tak berdaya. Sayangnya mereka melupakan satu hal. Tertawa di daerah yang berbahaya. Rahang pemuda jangkung bernama Draco itu sejak tadi mengeras menahan amarah yang membuncah saat melihat kedua rekannya yang seharusnya membelanya malah menertawakannya di depan musuh bebuyutan abadinya di Hogwarts—selain Harry dan Ron tentu saja. 

“DIAMLAH KALIAN BERDUA!” teriak putra tunggal Malfoy pada akhirnya pada kedua rekannya itu. Mendengar itu baik Blaise maupun Theo seakan terseret kembali ke dunia nyata. Mereka mengunci mulutnya rapat-rapat. Mereka sadar Draco sedang dalam keadaan berbahaya. “—dan kau Granger, mau pergi kemana kau?!” desisnya kemudian.

Gadis bernama Hermione Granger itu pun menghentikan langkahnya dan menoleh pada Draco dengan tampang berpura-pura kaget. “ Oh, ayolah Draco...Maksudku, sejak kapan kau mulai peduli padaku seperti ini?”

Mendengar perkataan Hermione, wajah pucat Draco dengan cepat berubah merona. Mungkinkah itu pertanda Sang Pangeran Slytherin itu sedang tersipu?

“M-maksudku...kau tidak bisa pergi begitu saja dari sini!” ujar Draco pada akhirnya memberanikan manik kelabunya untuk menatap manik hazel yang berkilau di hadapannya itu.

“Oh, kau malah membuatku makin terkejut!” Hermione kini malah membelalakkan kedua matanya seakan bola mata itu dapat tergelincir keluar, “Apa kau mulai lupa dengan penyakit anti-mugglemu, Malfoy? Bukannya baru saja kau bilang kau bisa alergi bila dekat-dekat dengan mudblood sepertiku? Dan walaupun penyakitmu itu sudah sembuh, tapi tidak begitu halnya denganku. Jangan lupakan, Malfoy...Aku sangat alergi dengan pirang platina milikmu itu. Well, alergi ini seperti mendarah daging. Kau taukan apa artinya itu? Itu berarti alergi ini tidak mudah disembuhkan—atau bahkan mungkin tidak akan pernah dapat disembuhkan selamanya,” ujar Hermione kini yang dengan mantap melenggang menjauhi Draco dan pengawalnya. Sementara Draco? Oh, jangan tanyakan. Kini wajahnya sudah merah seperti terbakar api.

Ia tersenyum saat kenangan itu melintas dibenaknya. Perseteruannya dengan Draco yang konyol kala itu. Masa-masa yang paling menyebalkan sekaligus sangat ia rindukan kini. Kini ia memejamkan matanya, menyembunyikan kilau hazelnya yang meredup di balik kelopak matanya. Membuka lembaran kenangan berikutnya...


“Granger! Larilah! Di sini berbahaya!” teriak Draco disela-sela pertarungannya dengan beberapa pelahap maut yang tak henti-hentinya melemparkan kutukan ke arahnya.

“Tidak, Malfoy! Aku tidak akan pergi!” Kini Hermione kembali memasuki area pertempuran yang menyebabkan Draco membelalakkan kedua matanya. Kesempatan itu digunakan dengan baik oleh pelahap maut untuk melemparkan kutukan ke arahnya.

“ Crucio!”

“Malfoy!” Hermione berlari tertatih-tatih ke arah Draco yang jatuh terjerembab dengan keras ke tanah.

“Confringo!” ujar Hermione melemparkan kutukan peledak pada sekawanan pelahap maut yang mencoba menyerangnya.

“Impedimenta!”

“Petrificus totalus!”

Dengan sigap Hermione melemparkan kutukan-kutukan tanpa henti ke arah pelahap maut di sekitarnya sehingga satu per satu pelahap maut itu berhasil dilumpuhkan. Draco berjalan tertatih ke arah Hermione sambil memegang lengan kiri gadis itu yang terluka mengucurkan darah.

“Kau keras kepala, Granger! Kau sedang terluka seperti ini. Dan kau tak mempercayaiku menghadapi mereka. Kau membuatku khawatir...” desis Draco pelan namun sangat jelas terdengar di telinga Hermione.

Hermione membalikkan tubuhnya sehingga kini ia dapat menatap langsung manik kelabu yang selalu memancarkan aura dingin di hadapannya.

“Kau yang terlalu mencemaskanku, Malfoy. Aku tak selemah yang kau pikirkan.” 

“ Ya, kau sangat kuat ‘Nona-Tahu-Segala’. Tapi aku masih tak dapat membayangkan jika aku harus kehilangan gadis yang sejak tahun pertama telah diam-diam merebut hatiku...” Kini Draco mulai menggenggam lembut kedua tangan Hermione yang mendadak terasa dingin bagai es. Atau mungkin segala kehangatan milikinya telah terserap oleh ‘Pangeran Es Slytherin’ itu? 

“Aku mencintaimu, Hermione Jean Granger. Dan aku ingin menjagamu selamanya...” ujar Draco lembut dan penuh perasaan. Hal itu tentunya membuat gadis di hadapannya nyaris mati karena rasa kaget yang luar biasa. Namun dibalik rasa kaget itu, terselip sejuta rasa bahagia. Ya, Hermione tau itu. Ia bahagia. Sangat bahagia atas pernyataan cinta itu.

Gadis itu tersenyum dengan mata masih terpejam. Mengingat pernyataan cinta Draco selalu membuatnya tersenyum dan merasa menjadi gadis paling beruntung saat itu. Udara malam yang dingin mulai menggigit kulit. Ia merapatkan syal dan mantel kulit yang dikenakannya. Dari jendelanya dapat terlihat salju telah turun dengan tebal. Melihat salju yang putih, lembut dan tak bernoda itu membuat Hermione teringat pada hari tersakral sepanjang hidupnya...


Terlihat seorang gadis dengan gaun panjang berwarna putih lembut membalut tubuh rampingnya berjalan memasuki Gereja dengan senyum terindah yang dapat diberikannya. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul dan bermahkotakan hiasan bintang-bintang kecil yang tampak berkilau di antara rambut cokelat kelamnya. Sementara Draco menatap penuh kagum kedatangan calon istrinya. Hari itu ia juga terlihat sangat tampan mengenakan tuksedo putih dan jangan lupakan rambut pirang platinanya yang tampak berkilau dan telah disisir rapi olehnya. Ia menggamit lengan Hermione. Berdua mereka berjalan perlahan menuju altar. Sesi terpenting dalam Upacara Pernikahan pun dimulai. Mengucapkan Janji Pernikahan.

“ Draco Lucius Malfoy, bersediakah Anda untuk mencintai istri Anda dalam keadaan sehat atau pun sakit dan dalam keadaan senang atau pun susah?” tanya Pendeta tersebut menatap Draco.

“Ya, saya bersedia,” ucap Draco mantap.

Kini pendeta tersebut berbalik menatap Hermione.

“Hermione Jean Granger, bersediakah Anda untuk mencintai suami Anda dalam keadaan sehat atau pun sakit dan dalam keadaan senang atau pun susah?”

“Ya, saya bersedia,” sahut Hermione serak menahan rasa haru yang menyelimutinya.

Dan dengan itu mereka berdua resmi menjadi sepasang suami istri di mata Tuhan dan juga di saksikan oleh seluruh keluarga dan kerabat mereka yang datang pada Upacara Pernikahan pada hari tersebut.

 
Hermione kini menghapus pelan setitik air mata haru yang lolos dari sudut matanya. Ia bangkit perlahan dari kursi yang sejak tadi ia duduki. Diraihnya pigura yang terletak di meja kayu yang tak jauh dari perapian. Ia peluk pigura itu untuk sekedar melepas kerinduannya pada sosok yang ada di dalamnya. Hermione membawa pigura itu dan kembali duduk di samping perapian. Sesekali diusapnya gambar seorang pemuda berambut pirang platina yang ada di dalam pigura itu. Mata kelabu, dagu runcing, dan bibir tipis yang selalu digunakan hanya untuk menyeringai itu...entah kenapa sekarang begitu ia rindukan.

Lima tahun membina rumah tangga dengan Draco, membuat Hermione merasa menjadi wanita yang diselimuti keberuntungan. Draco selalu melingkupinya dengan kasih sayang, ketulusan dan segenap perhatian yang membuatnya merasa sangat berharga di mata lelaki itu. Namun ia tak pernah menyangka bahwa segala kasih sayang itu harus terampas secepat itu darinya...


“Hermione...” ujar sebuah suara yang tampak terengah-engah. Hermione yang ketika itu tengah merajut syal untuk suaminya di ruang tengah dengan sigap melemparkan pandangannya pada pria berambut hitam berantakan dan berkaca mata bundar tersebut yang segera berjalan menghampirinya.

“Harry! Ada apa kau kemari? Bukannya kau, Draco, dan yang lain sedang bertempur melawan Kau-Tahu-Siapa?” tanya Hermione menatap sahabatnya dengan raut wajah heran. Seketika ada guratan kelam tergambar di wajah Harry. Hermione tau ada sesuatu yang tidak beres yang telah terjadi. “Katakan, Harry...Apa yang telah terjadi?” tuntut Hermione mencengkeram kedua lengan Harry. Harry tak kunjung menjawab. Tubuhnya menegang dan tampak sedikit bergetar.

“Kami berhasil mengalahkan Kau-Tau-Siapa—“

“Oh ya? Itu bagus, Harry! Aku sangat senang mendengarnya. Aku juga sangat ingin ikut bertempur. Andai saja Draco mengijinkan...” sesal Hermione.

“—dan Draco...” Harry menelan ludahnya dengan susah payah. “ Maafkan aku Mione... Aku tidak bisa menolongnya...” Kini tubuh Harry sepenuhnya berguncang—menangis tepatnya. 

Syal yang sejak tadi dipegang Hermione seketika terjatuh begitu saja dari genggamannya. Manik hazelnya yang selalu lincah dan bersemangat tampak berkabut. “ Apa maksudmu dengan  tidak bisa menolongnya, Harry?” desisnya dengan nada bergetar.

“Draco sudah tiada, Mione... Aku merasa sangat bersalah memberitaumu tentang ini. Maafkan aku, Mione...Maafkan aku tidak berhasil menolongnya...” Harry dengan sigap menarik tubuh Hermione yang berguncang hebat  masuk ke dalam pelukannya. Ia tau akan begini jadinya. Ia tau bahwa Hermione akan sangat terpukul mendengar kenyataan yang memilukan ini.


Pigura itu kini telah dipenuhi dengan genangan air. Bukan. Itu bukan air hujan yang menetes dari atap yang bocor atau salju yang masuk terbawa angin dan mencair melainkan air itu berasal dari tangisan wanita berambut semak cokelat yang kini tengah menangis tersedu-sedu.

“Draco, kenapa kau pergi begitu cepat? Kenapa?” ujarnya dengan suara parau.

Ia ingat betul kala terakhir kali melihat wajah suaminya  di dalam peti, tepatnya sebelum pemakaman senja tadi. Tak dapat dipungkiri ia terlihat sangat tampan. Wajahnya yang pucat itu terlihat semakin pucat. Manik kelabunya yang menyiratkan aura dingin dalam dirinya tersembunyi rapat di balik kelopak matanya. Hermione yakin ia pasti sangat merindukan melihat manik kelabu itu lagi—secara nyata—tentunya. Oh, dan kini Hermione mulai menyadari suatu keanehan. Bibir tipis suaminya itu...tersenyum! Demi rambut putih Merlin! Hermione ingat betul bahwa seorang Draco Malfoy tidak pernah tersenyum. Catat. Tidak pernah! Ia hanya punya bakat menyeringai. Setidaknya itu yang Hermione tau. Tapi Hermione tau Draco selalu tersenyum di dalam hatinya. Ya, dia tau itu. Dia tau bagaimana pria yang telah menjadi suaminya sejak lima tahun itu adalah tipe orang yang sangat sulit untuk bereskpresi baik disaat dia sedang bahagia ataupun sedang diselimuti kegundahan. Entah bagaimana ia selalu memasang tampang dingin dan ekspresi datar kebanggaannya yang seringkali membuat Hermione merasa jengah. Tapi sekarang, lihatlah! Draco Malfoy tersenyum! Apakah ia begitu bahagia sekarang bisa bertemu dengan ibunya—Narcissa Malfoy—lagi? Setidaknya itulah yang Hermione pikirkan.

“Malam ini adalah malam Natal sekaligus malam pertamaku tanpamu, Draco. Entah kenapa aku merasa sangsi melewatkan hari-hari ke depan tanpamu. Apakah kau di sana melewatkan malam Natal dengan bahagia, dear? Sayangnya aku tidak. Tidak akan pernah ada lagi malam Natal yang bahagia untukku setelah kepergianmu...” Hermione memaksakan menutup matanya yang sembab dan memeluk pigura yang membingkai potret suami tercintanya erat-erat. Guratan kesedihan dan keputusasaan terlukis jelas di wajah lelah itu. Dan tak perlu waktu lama ia jatuh tertidur dan bermimpi merayakan malam Natal bersama suaminya tercinta—Draco Malfoy. Dan lihatlah, kini ia tersenyum dalam tidurnya. Berharap ia tak akan pernah lagi terbangun pada kenyataan yang menyakitkan—kehilangan Draco Malfoy—selama-lamanya.

-Fin-


Read more...

About this Blog

Seguidores

    © Summervina. Friends Forever Template by Emporium Digital 2009

Back to TOP