Pendidikan di Indonesia

>> Selasa, 20 Maret 2012

 

A.Membenahi Sistem Pendidikan di Indonesia

Sabtu, 13 Juni 2009, beberapa sekolah di Indonesia sudah menerima presentasi kelulusan para siswa-siswinya. Ada tawa yang terlepas ketika keberhasilan tergapai. Namun, ada juga air mata yang keluar karena kegagalan yang didapat.
Kembali, dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan air mata pada pihak pelajar. Sebuah kebijakan mengenai Ujian Nasional, harus membuat beberapa orang kecewa. Belum lagi, ada juga kekecewaan yang muncul yang berasal dari luar pihak-pihak yang mengalami kegagalan dalam ujian nasional.
Beberapa hari sebelum pengumuman mengenai kelulusan, kekecewaan juga nampak pada beberapa sekolah yang harus mengikuti ujian ulang. Ditengarai, hal ini disebabkan karena faktor soal yang bocor. Tentu saja, hal ini sungguh menyakitkan bagi para siswa yang sebenarnya tidak ikut terlibat, dan juga tentu akan membuat nama pendidikan di Indonesia menjadi tercoreng.
Kekecewaan juga nampak pada bobroknya penjagaan yang dilakukan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional serta kerahasiaan sebuah dokumen negara, dalam hal ini dokumen ujian nasional. Saat ujian nasional berlangsung, tidak jarang terjadi kebocoran soal, tersebarnya kunci jawaban via telepon selular, serta peristiwa nyontek-menyontek.
Patut diakui, kualitas dari Ujian Nasional itu sebenarnya memang patut untuk dipertanyakan jika melihat  sederet masalah yang terjadi. Selain itu, akan juga muncul beberapa pertanyaan terkait. Apakah dengan standar soal yang ada, seorang pelajar memang betul-betul bisa dikatakan lulus dari bangku sekolah menengah? Lalu, bagaimana dengan perkembangan kepribadiannya? Bagaimana jika hasil Ujian Nasional nya bagus, namun itu bukanlah hasil dari sebuah kejujuran? 

Kesalahan sistem pendidikan
Banyak kritik terlontar ketika Ujian Nasional harus terus digelar dan dijadikan sebagai satu-satunya acuan untuk menentukan kelulusan seorang siswa. Padahal, banyak aspek lain yang patut untuk diperhitungkan disamping aspek nilai Ujian Nasional.
Faktor yang sering terlupakan dalam masalah pendidikan adalah masalah pembentukkan moral dan karakter dari para pelajar itu sendiri. Terkadang, proses pembentukkan moral dan karakter ini cenderung dikesampingkan karena adanya orientasi terhadap kesuksesan yang mutlak dicapai saat pelaksanaan Ujian Nasional.

Akibatnya adalah kepribadian yang terbentuk di tubuh para pelajar bukanlah sebuah kepribadian yang patut untuk dibanggakan. Kejadian tawuran antara UKI dan YAI serta sederet aksi yang sama telah menunjukkan bahwa pembentukkan kepribadian dinilai masih sangat minim.
Untuk mengubah hal ini memang tidaklah mudah. Ini nampaknya sudah merupakan sebuah kesalahan yang ada pada sistem pendidikan di Indonesia. Letak kesalahannya adalah fokus yang berlebih terhadap pelaksanaan Ujian Nasional. Fokus yang berlebih ini kemudian juga berujung pada fokus untuk peningkatan  serta mempertahankan citra sekolah tersebut, serta mengenyampingkan proses pembentukkan kepribadian pelajarnya.
Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Ujian Nasional, bukan hanya digunakan sebagai sarana untuk menilai seberapa baik kemampuan siswa tersebut, namun juga dijadikan sebagai sarana dari pihak sekolah untuk ajang unjuk gigi di bidang pendidikan skala nasional. Hal ini terjadi karena sekolah yang mendapatkan nilai Ujian Nasioanl tertinggi, dengan sendirinya juga akan terangkat namanya. Nama yang terangkat ini juga kemudian akan berpengaruh pada seberapa banyak calon siswa yang akan masuk ke sekolah itu karena akan dinilai sebagai sekolah favorit.
Lalu, jika dalam konteks masalah seperti ini, siapa yang akan merasa tertekan? Pelajar tentunya. Hal ini disebabkan karena adanya tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka untuk menjaga citra sekolah, sehingga terkadang persiapan untuk mengikuti Ujian Nasional dinilai terlalu berlebihan dan menguras banyak tenaga. Selain itu, akhirnya pelajaran untuk membentuk moral dan karakter akan dengan sendirinya terhapuskan karena digunakan untuk kepentingan mata pelajaran yang akan diujikan dalam Ujian Nasional.
Untuk membentuk seorang calon pemimpin diperlukan pendidikan yang bukan hanya mengorientasikan dirinya pada sebuah kuantitas, namun juga pada kualitas. Kuantitas belum tentu bisa untuk dijadikan sebagai bahan acuan dalam melihat kualitas. Itulah sebabnya, ujian nasional sepertinya memang tidak bisa djadikan satu-satunya acuan untuk menetukan kelulusan. Masih diperlukan penilaian terhadap aspek-aspek lainnya. Diantaranya adalah penilaian dari segi moral dan karakter siswa tersebut, apakah sudah terbentuk dengan baik atau belum.
Satu hal yang wajib untuk dilakukan jika memang ada keinginan untuk tetap mempertahankan Ujian Nasioanal sebagai standar dalam menentukan kelulusan adalah, keharusan melaksanakan pembenahan sistem Ujian Nasional itu sendiri. Pembenahan sistem disini dimaksudkan agar tidak lagi terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang sudah diutarakan penulis di atas.



Pendidikan Indonesia seyogyanya dapat menciptakan lulusan yang unggul jika saja pembenahan dalam segala sistem pendidikan mau dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara untuk tidak mengorientasikan pendidikan hanya kepada nilai, namun juga kepada pembentukkan kepribadian dan karakter pelajarnya.



KOMENTAR:
Ya. Ujian nasional memang tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan. Mengingat belum adanya pemerataan pendidikan. Memang akan lebih baik apabila pembentukan kepribadian dan karakter pelajar tidak dilupakan begitu saja disekolah-sekolah. Sebab pendidikan di Indonesia akan menjadi gagal total apabila melahirkan generasi cerdas namun tidak memiliki moral yang baik. Untuk itulah tiap instansi pendidikan di Indonesia perlu diingatkan dan disadarkan kembali akan pentingnya penanaman nilai-nilai moral pada para murid. Dengan begitu, pendidikan Indonesia kelak tidak hanya menghasilkan generasi yang cerdas namun juga memiliki kepribadian yang dapat dibanggakan. Hal ini sesuai dengan  tujuan pendidikan yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,berakhlak mulia, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.


B.Menilik Berubah-ubahnya Sistem Pendidikan di Indonesia

05 September, 2009
Salah satu bentuk perencanaan sosial adalah perencanaan di bidang pendidikan. Salah satu bentuk perencanaan sosial di bidang pendidikan adalah penyusunan kurikulum. Perubahan kurikulum tampaknya menjadi hal yang sangat biasa di dalam dunia pendidikan di Indonesia. Komentar yang seringkali terdengar berkaitan dengan perubahan kurikulum adalah "Ah biasa, ganti menteri kan ganti kurikulum".

Pergantian kurikulum beberapa kali dilakukan dengan alasan memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia supaya lebih baik dan tentu saja dengan harapan sumber daya manusia di Indonesia pun juga akan semakin berkualitas. Pada kenyataannya beberapa kali pergantian kurikulum tampak kurang memberikan perubahan seperti yang diharapkan, bahkan yang seringkali terjadi pergantian kurikulum ini terkesan kurang diolah atau dipersiapkan secara matang, sehingga pada pelaksanaannya di lapangan terjadi kekacauan atau banyak kelemahan-kelemahan.

Entah apa maksud sesungguhnya di balik pergantian itu yang jelas setiap kali pergantian kurikulum maka yang sering dibuat repot dan pusing adalah pihak sekolah, pendidik, dan murid, terlebih lagi ketika menghadapi kurikulum yang berlaku. Belum selesai kebingungan sekolah , pendidik dan murid untuk menyelami kurikulum berbasis kompetensi, antara lain belum adanya solusi yang tepat untuk menyikapi pelaksanaan ujian dan ujian dan kelulusan yang memunculkan protes di beberapa tempat, sekarang malah muncul konsep baru yang harus segera dilaksanakan oleh setiap sekolah yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Munculnya KTSP, tampaknya menambah kecemasan masyarakat pendidikan .Akan seperti apakah nantinya penerapan KTSP, dan bagaimana lagi wajah dunia pendidikan di Indonesia dengan munculnya KTSP ? Banyak pihak masih belum tahu bagaimana jawaban pastinya. Apakah dengan berubah-ubahnya system ini benar menjadi semakin baik seperti yang diharapkan ?

Sistem pendidikan di bumi kita tercinta memang tampak belum stabil. Perubahan terus mengikuti seiring dengan bergantinya kepemimpinan, seolah-olah mengikuti selera pemimpinnya. Itu semua sampai kini belum tampak adanya perubahan ke arah yang lebih maju.
Para guru biarkan mereka melaksanakan tugas dengan bebas tanpa dibebani urusan-urusan "tetek bengek". Memang dengan sistem ganti dan berubah-ubahnya kurikulum dituntut lebih arif terelebih dalam pemilihan materi.


Akan lebih senang jika paket pembelajan memiliki ciri berikut ini:
Pertama, pelajaran yang bertujuan mengembangkan daya imajinasi peserta didik dengan mendorong adanya dialog yang konstruktif dengan imajinasi fantasi kehidupan seseorang. Kedua pelajaran yang mengembangkan keterampilan berkomunikasi non verbal seperti pantomime, drama tanpa kata, ekspresi bebas, meditasi, dan lain-lain. Ketiga, pelajaran - pelajaran yang mengembangkan dan mengeksplorasi perasaan seseorang untuk menghadapi realitas kehidupan. Apa yang dirasakan jauh lebih penting daripada apa yang dipikirkan orang tentang sesuatu yang sedang dihadapi. Pertanyaannya adalah apa yang kamu rasakan bukan apa yang kamu pikirkan. Keempat , pelajaran yang bertujuan untuk menyadarkan peserta didik akan pentingnya pencapaian kepenuhan hidup dan penghayatan hidup yang intensif , berprinsip "kini dan di sini".

Dengan perencanaan pendidikan dalam hal ini perencanaan kurikulum yang baik dan tak adanya perubahan kurikulum yang terjadi terus menerus tentu pendidikan di Indonesia akan semakin maju dibandingkan sekarang.

KOMENTAR:
Ya, seringnya pergantian  kurikulum pendidikan bukannya membuat sistem pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, melainkan  semakin menambah panjang deretan masalah dalam dunia pendidikan kita. Memang tak dapat dipungkiri, setiap pergantian menteri pendidikan, maka pasti juga akan terjadi pergantian kurikulum. Dengan sering terjadinya pergantian kurikulum tentunya yang paling direpotkan adalah para guru dan murid. Seharusnya jika ingin mengganti kurikulum, harus dipikirkan secara matang. Dan penyusunan kurikulum baru tentunya tidak boleh asal-asalan saja. Perlu perencanaan dan konsep yang lebih matang. Jadi, mengganti kurikulum sebenarnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dan jika memang ingin memperbaiki sistem pendidikan diIndonesia, maka perubahan kurikulum secara terus-menerus harus segera dihentikan.

C.Sistem Pendidikan di Indonesia

April 1st, 2010 by Ahmat

Tingginya angka pengangguran intelektual di Indonesia merupakan pekerjaan rumah bagi para pelaku pendidikan di Indonesia. Data statistik menunjukan angka pengangguran terbuka di Indonesia mencapai angka 9,4 juta jiwa, pengangguran sarjana (S1) mencapai 1,2 juta jiwa.  Setiap tahun rata-rata 20% sarjana baru kita menjadi pengangguran. Munculnya pengangguran di tingkat sarjana, terjadi karena sebagian besar lulusan perguruan tinggi adalah pencari kerja (job-seeker) daripada pencipta kerja (job-creator).
Hal ini terjadi karena sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai Perguruan Tinggi (PT) lebih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan. Hampir semua PT menerapkan sistem pembelajaran yang kurang efektif. Para mahasiswa diupayakan cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, tapi ternyata pada kenyataan di lapangan tidak demikian.

Umumnya lulusan perguruan tinggi kita memiliki keterampilan rendah, sehingga masih perlu tambahan pelatihan yang bersifat soft skill, agar mereka menjadi lulusan plus. Di dunia internasional banyak pelatihan di perguruan tinggi yang bisa dilakukan dalam lima hari, namun memberikan pengetahuan tambahan yang sangat berarti. Dengan situasi banyak sarjana menganggur, pertanyaan pun muncul: Benarkah dengan pendidikan yang tinggi akan semakin mudah mencari kerja? Dan mampukah Pemerintah dengan filosofi anggaran 20% dari APBN maupun APBD yang dialokasikan untuk pendidikan nantinya dibarengi peningkatan kesempatan kerja?
Bagaimanapun pendidikan adalah sarana mentrasformasi kehidupan ke arah lebih baik. Pendidikan pun menjadi standar stratifikasi sosial seseorang. Orang yang berpendidikan akan mendapatkan penghormatan (prestice of life) di mata publik, meski dari keturunan yang tidak dikarunia Tuhan berupa kekayaan berlimpah. Akibatnya, orangpun berbondong-bondong mengeyam pendidikan setinggi-tingginya. Mengingat dunia terus melaju pada era globalisasi, era persaingan global, dan Indonesia merupakan bagian yang ikut andil di dalamnya.
Dikehendaki ataupun tidak, setiap negara akan mengikuti perubahan dunia tersebut. Sehingga untuk mempersiapkan diri terhadap persaingan global, manusiapun meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikannya, baik mereguk pendidikan di dalam negeri maupun di negeri orang yang sudah nyata-nyata kualitasnya (high quality). Kendati syarat utamanya seperti itu, namun ternyata banyak sarjana menganggur. Lagipula semakin tinggi pendidikan seseorang maka makin tinggi pula ekspektasi pekerjaan yang diinginkan. Ini yang menjadikan kaum terdidik makin sulit mendapat pekerjaan.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Bukankah semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin luas pula kesempatan kerja bakal ia peroleh? Atau di manakah letak kesalahan itu? Apakah sistem pendidikan selama ini yang keliru, yang hanya berorientasi melahirkan jumlah calon karyawan yang mencari kerja (what to do), tetapi bukan bagaimana menciptakan calon-calon pengusaha mendiri (what to be).
Hampir setiap orang tua mengharapkan anaknya dapat mengenyam pendidikan PT hingga menjadi sarjana, lalu (bila beruntung) mendapat pekerjaan. Bagi sarjana yang sudah mendapat pekerjaan pun, nasib mereka masih terancam juga dengan PHK mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang masih saja belum bangkit dari keterpurukan. Krisis global yang menginduk kepada Kapitalisme berimbas juga pada semakin tingginya angka pengangguran.
PT di Indonesia selama ini mencetak sarjana dengan pengetahuan akan teori tetapi bukan (belum) menjadi pelaku usaha yang dapat mempraktekkan teori tersebut di dunia nyata. Kuncinya adalah meningkatkan jiwa kewirausahaan. Di Indonesia, jumlah wirausahawan masih sangat minim. Pada 2007 angkanya tercatat baru 0,18% atau 400.000 dari total jumlah penduduk Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura saja pada 2001 memiliki 2,1% entrepreneur dan pada 2005 meningkat menjadi 7,2%. Tingginya tingkat kewirausahaan berarti semakin majunya ekonomi suatu negara. Semakin banyaknya penyerapan tenaga kerja yang berarti semakin minimnya angka pengangguran.
Dengan demikian, PT seharusnya dapat menjadi sarana untuk mempraktekkan teori usaha bukan hanya menjejali dengan teori saja. Mengutip dari buku “ BOB SADINO: Mereka Bilang Saya Gila!”, dia berkata bahwa para sarjana ini tidak dibekali dengan kemampuan untuk bersikap mandiri, berani mandiri berarti semakin terasah dia untuk tidak mengandalkan orang lain (lowongan pekerjaan) untuk menghidupi dirinya sendiri apalagi dapat menghidupi banyak orang. Bayangkan apabila setiap sarjana setelah lulus dapat langsung memulai usahanya sendiri bahkan sampai menyerap tenaga kerja, apakah masih ada lagi pengangguran di Indonesia. Mungkin yang ada kita mengimport tenaga kerja dari luar negeri.
Kondisi memprihatinkan seperti ini harus ada jalan keluar sebelum Negara kita semakin jatuh dalam keterpurukan. Pemecahan masalah yang saya kira bukan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah saja, tapi juga para pelaku usaha yang senantiasa terus mengembangkan usahanya dan menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja.

KOMENTAR:
Ya, memang hampir semua Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia lebih menekankan agar para mahasiswa lebih cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut memang sulit untuk diwujudkan, mengingat semakin ketatnya persaingan dalam memperoleh pekerjaan.  Memang diperlukan suatu terobosan baru. Para sarjana diharapkan tidak hanya dapat mengandalkan lowongan pekerjaan yang kemungkinannya sangat kecil (job-seeker), namun juga dapat mulai memikirkan bagaimana agar dapat menciptakan lapangan kerja sendiri(job-creator). Dengan begitu, mungkin kedepannya sistem perekonomian kita akan menjadi lebih maju dan angka pengangguran dapat diperkecil.

D.Kemanakah Arah Perahu Pendidikan di Indonesia

07 October 2010 
 
Beberapa tahun yang lalu pada saat penerapan kurikulum 1984, banyak ahli pendidikan mengatakan bahwa Sistem Pendidikan Indonesia tidak manusiawi. Pendidikan hanya menitik beratkan pada perkembangan kognitif siswa dan tidak memperhatikan segi kemanusiaan siswa. Banyaknya kritikan dan saran dari para ahli pendidikan menyebabkan perubahan kebijakan penerapan sistem pendidikan di Indonesia.
Selain adanya saran dan kritikan dari para ahli, sistem politik yang awalnya terpusat menjadi otonomi daerah mempengaruhi secara signifikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia secara nasional. Pada awalnya semua kebijakan pendidikan dikontrol secara rinci oleh pemerintah pusat dalam hal ini diwakili oleh Menteri Pendidikan dan Olah Raga. Sejak adanya otonomi daerah, maka setiap daerah bisa mengembangkan sistem pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan di daerah masing-masing.
Perubahan sistem pendidikan ini secara langsung mempengaruhi semua aspek penyusun sistem pendidikan itu sendiri. Salah satunya adalah kurikulum pendidikan. Sejak berakhirnya kurikulum 1984 muncul kurikulum 1994, KBK dan sampai sekarang KTSP. Semua perubahan kurikulum yang dilakukan bertujuan untuk menyempurnakan sistem sebelumnya yang menginginkan pendidikan Indonesia lebih manusiawi.
Pertanyaan besar yang harus dipertanyakan adalah apakah benar perubahan sistem pendidikan tersebut yang paling mendasar untuk memanusiakan pendidikan di Indonesia?
Pada kenyataannya, semakin hari pendidikan Indonesia semakin terpuruk dalam perubahan sistem yang berkepanjangan tanpa dasar yang jelas. Yang paling disayangkan adalah apakah perubahan yang dilakukan itu sudah melalui suatu kajian mendalam berdasarkan penilaian proses, penilaian hasil ( input dan outcome)?
Pada pelaksanaannya, rata-rata perubahan sistem kurikulum yang satu ke sistem kurikulum yang lain di Indonesia tidak lebih dari 10 tahun. Padahal untuk melihat proses dan hasil sebuah kurikulum dibutuhkan dalam waktu paling kurang 12 tahun yang terdiri dari 6 tahun SD, 3 tahun SMP dan 3 tahun SMA. Yang sering terjadi adalah kurikulum baru melanjutkan kurikulum yang lama sebelum siswa menamatkan sistem kurikulum yang berjalan. Hal ini menyebabkan evaluasi proses maupun hasil tidak bisa dilakukan secara objektif.
Yang kurang tepatnya lagi adalah evaluasi hasil dari sistem pendidikan sering dilihat dari pencapaian nilai Ujian Nasional, dimana sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem evaluasi Ujian Nasional sendiri belum bisa dikatakan alat yang validitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Dimana-mana masih terdapat kebocoran soal atau sistem pelaksanaan yang belum sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Bahkan sistem evaluasi melalui Ujian Nasional mendapat tanggapan beragam dari berbahai pihak, ada yang pro dan kontra. Kalau menilik lagi dari asal muasal diubahnya kurikulum 1894 menjadi kurikulum yang lebih manusiawi dan membumi, apakah sistem evaluasi sistem pendidikan melalui Ujian Nasional itu manusiawi?

Saat ini, banyak ahli dan praktisi menilai bahwa ada kekurangan dari sistem pendidikan di Indonesia, yaitu kurangnya pendidikan karakter. Dan diisukan mata pelajaran rumpun budipekerti akan diujikan di Ujian Nasional. Apakah hal ini akan merubah karakter seseorang? Atau dibalik apakah nilai yang baik pada mata pelajaran ini menjamin seseorang mempunyai karakter yang baik pula? Sehingga karakter seseorang dapat dilihat dari nilai diijazahnya?
Mungkin ada baiknya, semua orang yang terlibat di dunia pendidikan perlu hu merenung lagi untuk menjawab pertanyaan ” Mau diarahkan kemanakan perahu Pendidikan Indonesia?” Sebaiknya hal ini cepat terjawab agar perahu pendidikan kita tidak terombang ambing oleh badai globalisasi yang setiap saat bisa menenggelamkan perahu pendidikan kita ke dasar laut sehingga tidak dapat ditolong lagi.

KOMENTAR:
Ya, memang sangat disayangkan sekali selalu terjadi pergantian sistem kurikulum yang begitu cepat. Padahal untuk melihat proses dan hasil suatu kurikulum diperlukan waktu yang tidak sedikit. Jadi, bagaimana mungkin kita dapat menilai seberapa baik atau tidak suatu kurikulum apabila selalu saja dilakukan pergantian kurikulum dalam waktu singkat. Dan memang pendidikan karakter begitu penting dan diperlukan dalam sistem pendidikan kita. Namun, tentunya pendidikan karakter yang akan diberikan tersebut tidak dapat diukur dari nilai saja. Jadi, jika pendidikan karakter dianggap penting, lantas akan diujikan dalam ujian nasional, hal tersebut cukup keliru. Karena pendidikan karakter lebih menekankan pada praktik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku murid, bukan pada nilai yang diperolehnya. Karena sangat lucu apabila baik buruknya karakter seseorang dapat diketahui hanya dengan melihat nilai yang terpampang diijazahnya.

E.Pendidikan Belum Merata - Guru Harus Siap Mengabdi di Desa

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia terus mendapat sorotan dan menjadi perhatian khusus. Kondisi pendidikan yang sangat memprihatinkan itu ternyata beralasan. Pasalnya, pemerataan pendidikan di Indonesia belum terlaksana dengan baik, apalagi guru-guru di kota masih jauh lebih banyak jumlahnya daripada di pedesaan.

Keengganan mengajar di desa ini yang membuat pendidikan desa dan kota terus mengalami margin yang besar. Padahal sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945, pendidikan harus merata dan tidak ada perbedaan antara kota dengan desa.

"Kenyataannya pemerataan pendidikan itu belum terlaksana dengan baik, masih terjadi kesenjangan akibat guru-guru hanya mau mengajar di kota tidak mau di desa. Kondisi ini menciptakan pendidikan kita masih memprihatinkan," kata Komisi E DPRD Sumut Brilian Moktar, kemarin di sela-sela seminar pendidikan di kampus Unimed.

Padahal pemerintah mulai dari pemerintah provinsi, kabupaten dan kota serta pusat terus memperhatikan guru, seperti tunjangan sertifikasi dan insentif, meski masih ada sebagian guru yang belum mendapatkannya.

Menurut Brilian, komitmen mengajar itu harus berlandaskan dari Dinas Pendidikan. Jangan guru itu nantinya tidak mau ke desa, akibatnya peningkatan kualiatas pendidikan menjadi tidak merata. "Guru harus siap ditempatkan untuk mengajar di desa terpecil sekalipun, demi tewujudnya pemerataan pendidikan. Untuk itu pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan sekaligus memberikan insentif mereka," tegas Brilian.

Dikatakannya, jika guru kota, jangan diletakkan di desa, karena tidak akan sanggup. Sebaliknya guru desa dibina menjadi guru yang baik dan kembali desa. Namun bagi guru yang masih mau bersikap Marsipature Hutanabe (membangun desa sendiri) harus mau belajar dan membangun daerahnya.

Pemerintah Provinsi Sumut melalui Dinas Pendidikan harus memerhatikan kualitas pendidikan di daerah terpencil dan harus membuat grand design pendidikan untuk visi-misi gubernur, di antaranya punya masa depan.

"Masing-masing satuan kerja dan perangkat daerah harus memiliki grand design yang mengacu ke sana, baru bisa tercapai," jelasnya.

Kepala Dinas Pendidikan Sumut Drs Bahrumsyah MM menyebutkan, pemerintah terus berupaya memperhatikan peningkatan pendidikan, misalnya dengan memberikan tunjangan insentif bagi guru yang mengajar di desa terpencil.

Bahrum mengaku, rendahnya kualitas pendidikan itu selain belum meratanya pendidikan juga disebabkan masih banyak guru belum memenuhi standar kompetensi dan tidak sesuai dengan bidang keahliannya.

Berdasarkan data, pada tahun 2005, kekurangan guru untuk tingkat keseluruhan di Indonesia mencapai 218.838 orang dan untuk tahun 2006 memerlukan tambahan 38 ribu guru dan jumlah itu masih diperlukan lagi hingga 6 ribu guru, termasuk di Sumut.

Dengan kondisi pendidikan yang belum merata ini, jadi wajar jika Brilian menilai sebaiknya pelaksanan Ujian Nasional (UN) ditunda. Sebab untuk kelulusan siswa tidak mutlak hasil dari UN. Semestinya dibuat standar ukuran, tapi bukan standar kelulusan. Jika standar pendidikan di Indonesia sudah merata dan dinilai perlu, bisa diberlakukan.

Staf ahli Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Sumut Syahdian mengatakan, standar kelulusan tetap dibutuhkan dalam dunia pendidikan, demi menilai sudah sejauh mana perkembangan maupun mutu peserta didik.

"Standar kelulusan diperlukan untuk menilai keberhasilan peserta didik. Jadi kalau tidak ada standarnya, kita tidak bisa melakukan penjaminan terhadap mutu pendidikan," ucapnya.

Menurutnya, standar pendidikan itu tidak terlepas dari keberadaan sarana dan prasarana sekolah yang belum merata, terutama untuk sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil.

KOMENTAR:
Memang sangat disayangkan sekali masih terjadi ketidakmerataan pendidikan yang sangat mencolok. Hal ini tentunya tidak akan terjadi apabila para guru lebih sadar  akan kewajibannya sebagai pengajar. Jangan hanya ingin mengajar dikota saja, namun harus siap untuk ditugaskan mengajar dipedesaan terutama didaerah terpencil. Hal ini dikarenakan adanya kesenjangan yang amat mencolok antara jumlah guru yang ada dikota dan didaerah pedesaan.  Jika sudah ada pemerataan pendidikan yang lebih baik, barulah pelaksanaan  Ujian Nasional dapat dinilai efektif.

F.PENDIDIKAN DI INDONESIA TERTINGGAL TIGA TAHUN


04 March 2010
BANDUNG, (PR).-

Pendidikan di Indonesia tertinggal tiga tahun dibandingkan dengan negara negara yang ada di Asia Tenggara. Hal itu berkolerasi dengan kemajuan ekonomi bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara tersebut.
Demikian dikatakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat memberikan kuliah umum "Edupreuneurship" di Gedung JICA Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Jln. Setiabudhi Bandung, Jumat (19/2). Pada 1960, dia mengatakan, pendidikan di Indonesia memiliki level yang sama dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina. Namun, saat ini, kemajuan bangsa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tersebut. "Apakah orang Indonesia kurang pintar dibandingkan dengan mereka? Iya," ucapnya.
Kalla mengatakan, selama 20 tahun siswa di Indonesia mengalami rasa tidak pernah belajar. Pasalnya, siswa merasa bahwa belajar maupun tidak sama saja akan lulus. Apalagi saat itu muncul stigma pada siswa bahwa belajar hanya dilakukan saat akan ujian.
Kalla pun membandingkan soal ujian di Indonesia dengan di tiga negara Asia Tenggara yaitu Malaysia, Singapura, dan Filipina. "Hasilnya ternyata ujian SD mereka sama dengan SMP. Apalagi Malaysia dan Singapura, soal ujiannya dibuat Oxford," kata dia.
Menurut Kalla, perlu dibedakan antara ujian sekolah dan Ujian Nasional. "Ujian Nasional menguji apa yang seharusnya dia tahu, sementara ujian sekolah menguji apa yang dia (siswa) pelajari," ujarnya.
Untuk itu, pada 2003, dia melakukan tes untuk beberapa sekolah dengan standar kelulusan lima. Dari hasil tersebut didapatkan angka kelulusan hanya mencapai 50 persen. Standar kelulusan tersebut kemudian diturunkan menjadi angka empat yang hasilnya ternyata masih ada 30 persen yang tidak lulus. Hal itulah yang menyebabkan standar kembali diturunkan lagi menjadi 3,5 yang untuk selanjutnya akan naik setengah setiap tahunnya sampai mencapai enam.
Sementara itu, Rektor UPI Sunaryo Kartadinata mengatakan, saat ini yang menjadi masalah bukan lagi pro dan kontra masalah Ujian Nasional. Namun, yang perlu dipikirkan saat ini adalah bagaimana caranya agar Ujian Nasional bisa dijalankan dengan jujur. Kejujuran yang dimaksud harus dilaksanakan oleh semua pihak baik siswa, guru, orang tua, maupun instansi yang bersangkutan. Dengan demikian, tujuan di balik adanya Ujian Nasional itu bisa tercapai dengan optimal.

KOMENTAR:
Sungguh miris sekali nasib pendidikan di Indonesia yang semula sama dengan  negara –negara tetangganya, kini malah tertinggal jauh dari yang lain. Hal ini tentunya tidak akan terjadi apabila kesadaran akan perlunya peningkatan mutu pendidikan lebih awal dilakukan. Namun lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Maka dari itu, Indonesia perlu bekerja keras untuk mengejar ketinggalannya selama ini agar pendidikan di Indonesia dapat selevel kembali dengan negara-negara tetangganya seperti pada puluhan tahun silam.


G.Mau Dibawa ke Mana Pendidikan di Indonesia

Selasa, 31 Agustus 2010

Sekarang ini menghafal fakta-fakta dan informasi bukan keterampilan yang paling penting di dunia. Data tentang perkembangan dunia dan informasi sudah tersedia di dalam buku-buku dan website-website melaui internet. Kebutuhan yang harus di miliki siswa sekarang ini adalah pemahaman tentang bagaimana untuk mendapatkan dan memahami data dari sumber-sumber yang dapat dipercaya.

Badan-badan yang bergerak di bidang pendidikan harus mengerti bahwa sekolah perlu memberikan pengetahuan yang akan digunakan untuk dimasa datang saat siswa telah lulus. Pendidikan di Indonesia saat ini lebih menekankan pada kemampuan verbal hanya untuk sekedar “Lulus” dalam Ujian Nasional tanpa mengerti bahwa apa yang mereka ajarkan kepada siswa akan berguna atau tidak saat mereka sudah dalam dunia kerja, bersosialisasi dalam masyarakat yang komplek dan belajar ilmu-ilmu baru searah dengan perkembangan zaman yang begitu pesat.

Pada kasus ini, badan-badan pendidikan harus meramalkan sekiranya pengetahuan apa yang akan dibutuhkan siswa saat mereka berada dalam dunia kerja dan masyarakat. Faktanya pengetahuan untuk masa mendatang tidak dapat diramalkan, bahkan berubah dengan sangat cepat. Lalu bagaimana menyiapkan siswa agar siap untuk menapak hari-harinya saat mereka telah terjun di dunia kerja dan masyarakat?

Pertanyaan tersebut sulit dijawab, apalagi sistem pendidikan di Indonesia yang masih fokus pada isi dari mata pelajaran. Siswa dinyatakan Lulus Ujian Nasional jika siswa telah menguasai dan menghapal dari konsep-konsep pelajaran yang dijabarkan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Pertanyaannya, apakah isi dari SKL tersebut dibutuhkan saat mereka di dunia kerja dan bersosialisasi dengan masyarakat.

Seseorang dapat berhasil dalam dunia kerja dan masyarakat, jika seseorang tersebut terampil dalam belajar dan cepat menyesuaikan diri dengan apa yang ada disekelilingnya. Kemampuan untuk belajar dan cepat menyesuaikan diri merupakan suatu ketrampilan yang sebenarnya lebih penting dari pada menguasai isi dari mata pelajaran, karena dengan ketrampilan belajarnya, seseorang dapat mengakses ilmu-ilmu pengetahuan baru dengan cepat, dapat mengakses data-data dengan akurat dan dapat mengambil keputusan serta memberikan solusi dari suatu permasalahan dengan menggabungkan data-data yang telah diakses sehingga dapat memberikan solusi yang tepat dan akurat.

Untuk menghasilkan siswa yang siap dalam dunia kerja dan masyarakat Pendidikan di Indonesia harus dikembangkan kearah “bagaimana cara siswa untuk tahu” bukan “Apa yang diketahui siswa”. Dalam hal ini isi dari suatu mata pelajaran adalah hal yang penting tetapi bukan merupakan tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Jawaban benar dalam suatu konteks ilmu pengetahuan bukanlah tujuan dari suatu pembelajaran karena sering jawaban benar itu tidak ada serta berubah-ubah sesuai dengan perkembangan dari ilmu pengetahuan itu sendiri.

Tidak ada seseorang yang dapat menguasai semua ilmu pengetahuan, tetap seseorang dapat ditanamkan kebiasaan untuk terus belajar. Keterampilan untuk terus belajar merupakan hal penting untuk menjadi fokus hasil pembelajaran.

Hasil pendidikan di Indonesia harus dikembangkan dalam bagaimana siswa untuk terbiasa dalam “kebiasaan berpikir”, kebiasaan mengeksplorasi, berpikir kritis, cepat dalam mengakses data-data sehingga menghasilkan solusi terbaik dalam suatu permasalahan. Permintaan tenaga kerja saat ini membutuhkan seseorang dalam hal pekerjaan yang memerlukan penelitian untuk kemungkinan penyebab masalah, pekerjaan yang memerlukan hasil untuk mencari langkah-langkah antisipasi faktor-faktor yang mungkin menyebabkan masalah, pekerjaan yang memerlukan pencari solusi masalah dengan berdiskusi dengan orang lain, pekerjaan yang memerlukan ilmu untuk mencari informasi yang tersimpan dalam file komputer dengan menggunakan data penelitian keterampilan elektronik, pekerjaan yang memerlukan kreatifitas dalam menulis dengan jelas untuk menyampaikan informasi yang rumit untuk orang lain serta menggambarkan situasi atau kejadian dan membuat rekomendasi, pekerjaan yang memerlukan penafsiran korelasi dengan membandingkan dua set data.

Apakah pendidikan di Indonesia telah menghasilkan seseorang yang dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut?. Untuk mendapatkan jawaban itu kita bisa melihat fakta yang ada yaitu pengangguran begitu besar dan rendahnya kondisi ekonomi bangsa. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah Pendidikan di Indonesia belum membuat lulusan yang siap untuk melangkah ke dunia kerja. Pendidikan di Indonesia hanya fokus pada isi dan materi dari ilmu pengetahuan, hal ini dibuktikan dengan Standar Kompetensi Lulusan yang tidak relevan dengan dunia kerja.

Pendidikan tidak mempersiapkan siswa untuk dunia yang statis dan tetap. Sebaliknya, pendidikan harus mempersiapkan peserta didik untuk mengatasi perubahan yang akan meningkatkan kompleksitas sepanjang hidup mereka dan banyak yang tidak dapat diramalkan saat ini. Sebagian besar siswa mungkin akan menghadapi beberapa kesulitan dalam perubahan pekerjaan, pindah ke lokasi yang berbeda, terlibat dalam perubahan sosial yang kompleks, dan lain sebagainya. Pendidikan tidak dapat memberikan semua informasi yang mereka perlukan, melainkan harus menyediakan ketrampilan untuk terus belajar.

Pendidikan di Indonesia dimana pendidikan hanya fokus pada pembelajaran “apa yang siswa tahu,” merupakan suatu tantangan untuk mengembangkan pandangan umum pada siswa tentang “bagaimana cara siswa untuk terus tahu” dan ketrampilan tersebut sangat penting dalam masyarakat modern.
Terdapat sudut pandang yang sangat kuat pada banyak pendidik, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya bahwa hasil dari suatu badan pendidikan seperti sekolah adalah siswa Lulus Ujian Nasional dengan mengabaikan bahwa apa yang akan dikerjakan setelah lulus Ujian Nasional dan keterampilan apa yang dimiliki siswa yang lulus ujian nasional.
Kebanyakan siswa setelah lulus ujian dari sekolah atau mereka yang tidak lulus pada akhirnya akan memasuki dunia kerja. Bahkan untuk jumlah kecil yang tidak memasuki dunia kerja, semua harus menyelesaikan masalah yang semakin kompleks sepanjang hidup. Dunia bisnis cepat menyadari bahwa untuk menjadi sukses dalam masyarakat modern sangat
penting untuk bekerja lebih pintar dan yang terpenting adalah belajar sepanjang hidup harus menjadi penekanan dalam pendidikan.

KOMENTAR:
Ya,badan-badan yang bergerak dalam bidang pendidikan memang seharusnya lebih kritis lagi terhadap apa yang akan mereka berikan dan ajarkan pada para siswa. Mereka seharusnya dapat menyaring dan memilah apakah yang akan mereka beri dan diajarkan kelak akan berguna bagi para siswa setelah mereka lulus dan akan mulai memasuki dunia kerja atau tidak. Hal ini mengingat besarnya angka pengangguran saat ini karena ketidaksiapan  siswa saat memasuki dunia kerja. Karena selama ini pendidikan Indonesia lebih fokus pada materi ilmu pengetahuan saja tanpa menyiapkan siswa yang siap terjun kedunia kerja. Untuk itulah seharusnya badan-badan yang bergerak dalam bidang pendidikan sudah harus memikirkan lebih lanjut tentang keterampilan apa yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang lulus ujian nasional. Dan yang terpenting adalah pendidikan seharusnya lebih menekankan agar bagaimana siswa untuk “mau terus belajar”.

H.Masalah Pendidikan di Indonesia 

January 26th, 2010

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia memiliki daya saing yang rendah Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Mahalnya biaya pendidikan.

* Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

* Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.

* Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel.

* Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

* Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

* Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

KOMENTAR:
Sungguh banyak sekali permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan kita. Diharapkan pemerintah dapat lebih peduli lagi akan nasib dan perkembangan dunia pendidikan. Sebab jika pendidikan Indonesia membaik, maka bidang-bidang lainnya pun akan menyusul. Dan jika pemerintah selalu menjadikan keterbatasan dana sebagai alasan untuk memajukan pendidikan kita, maka mutu pendidikan kita akan selamanya berada diurutan terbawah. Selain itu, sistem pendidikan pun perlu banyak dibenahi guna menghasilkan murid-murid yang lebih berkompeten dan berprestasi.  

I.Pendidikan di Indonesia Memprihatinkan

Jakarta, Pelita
Rektor Universitas Paramadina Jakarta Anies Baswedan mengatakan kondisi pendidikan di Indonesia saat sangat memprihatinkan. Sekitar 21 persen sekolah dasar di kota kekurangan guru. "Kondisi serupa juga terjadi di desa dengan angka kekurangan guru sekitar 37 persen, dan di desa terpencil sekitar 60 persen. Kondisi itu akan semakin parah pada lima tahun ke depan, karena sekitar 75 persen guru sekolah dasar (SD) di Indonesia pensiun," katanya di Jakarta, kemarin.
Melalui program tersebut, dirinya mengajak para pengajar muda untuk bertugas selama satu tahun di SD yang tersebar di lima kabupaten di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. "Kini saatnya saya mengajak kalangan generasi muda lulusan perguruan tinggi untuk mau berperan menjadi pengajar di wilayah terpencil guna memberikan motivasi dan mimpi kepada anak-anak di pelosok Indonesia agar lebih maju." ucapnya.
Sementara itu,Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan dalam waktu dekat pemerintah akan meluncurkan program pendidikan anak harapan, sehingga ke depan diharapkan tak ada lagi anak-anak marjinal tak tersentuh pendidikan.
"Pendidikan ini berbasis asrama, sehingga konsepnya pun menyerupai pendidikan Pondok Pesantren," ucapnya. Menurutnya, program pendidikan anak harapan itu kini tengah dimatangkan. Tujuan dari program tersebut merupakan salah satu solusi mengentaskan kemiskinan, mengingat anak-anak didik berasal dari anak jalanan yang orang tuanya secara ekonomi tak memiliki kemampuan.
"Yang lebih penting adalah meningkatkan partisipasi pendidikan dan memberi harapan besar kepada anak didik untuk memperbaiki kualitas hidup mereka." katanya. Menag menjelaskan, jika program ini dapat berjalan diharapkan anak jalanan dapal terhindar dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual.
Sebelumnya Menag menjelaskan bahwa pendidikan bagi anak harus dipandang sebagai kewajiban dan tak mengenal diskriminasi. Karena itu pula keberhasilan pendidikan harus pula memiliki tolak ukur yang jelas. Salah satunya adalah melalui ujian nasional (UN yang belum lama ini berlangsung dan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat).
Ada yang memandang UN tak perlu, kata Menag, tapi ada yang menganggap penting sebagai "pintu masuk" mengukur keberhasilan program pendidikan secara nasional. "Jika tak ada tolak ukurnya dan hanya diberikan surat tanda tamat belajar, lalu bagaimana mengetahui pendidikan itu punya nilai kompetitif," tanya Suryadharma Ali. "Jadi, UN penting sebagai tolak ukur keberhasilan anak didik."
Sementara Mendiknas Muhammad Nuh menjelaskan UN dimaksudkan untuk menentukan sejauh mana standar kualitas pendidikan yang dimiliki. Jadi, UN merupakan pintu masuk untuk melakukan perbaikan pendidikan. Banyak kecurangan yang terjadi selama pelaksanaan UN. Tapi, jangan salahkan UN karena di situ terkait antara kejujuran dan prestasi.
Ia mengakui hasil UN banyak menimbulkan kekecewaan. Terutama bagi yang menolak diselenggarakannya UN Itu. Terlebih bagi yang gagal dan bahkan sampai satu sekolah tak lulus. Padahal, dengan kegagalan itu menjadi kewajiban semua pihak untuk melakukan perbaikan bersama. Termasuk pemerintah dengan mengintervensi di lembaga pendidikan bersangkutan, katanya. "Ini harus diperbaiki. Ada apa di lembaga pendidikan itu."

KOMENTAR:
Saya sangat mendukung dengan adanya program pendidikan anak harapan tersebut. Karena dengan adanya program tersebut, anak-anak jalanan yang tidak mampu melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya dapat menikmati pendidikan juga. Dan mengenai UN yang dijadikan sebagai alat ukur untuk meninjau sejauh mana kualitas pendidikan kita saat ini adalah tidak tepat jika pada pelaksanaan UN masih saja terjadi banyak kecurangan  dan kebocoran soal. Sebaiknya perlu adanya penyelidikan lebih lanjut mengapa sampai bisa terjadi kebocoran soal seperti itu agar pada pelaksanaan UN yang akan datang, hal-hal tersebut tidak terulang kembali.

J.Sistem Pendidikan Gagal Bentuk Karakter  Siswa

Selasa, 5 Oktober 2010
Medan (ANTARA News) - Sistem pendidikan di Indonesia dinilai gagal membentuk karakter siswa menjadi orang baik yang ditandai dengan banyaknya kasus korupsi, manipulasi, kebohongan, berbagai konflik dan terjadinya kekerasan.

"Ini bukti bahwa institusi pendidikan kita belum dapat mewujudkan tujuan pendidikan yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab," kata pendiri Indonesia Heritage Foundation, Dr Ratna Megawangi, di Medan, Selasa.

Menurut dia, salah satu penyebab utama kegagalan tersebut karena sistem pendidikan di Indonesia belum mempunyai kurikulum pendidikan karakter, tetapi yang ada hanya mata pelajaran tentang pengetahuan karakter (moral) yang tertuang didalam pelajaran agama, kewarganegaraan dan Pancasila.

Apalagi proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan penghafalan.Para siswa hanya diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur dengan kemampuan anak menjawab soal ujian terutama dengan pilihan berganda.

"Karena orientasinya hanya semata-mata memperoleh nilai bagus, maka bagaimana mata pelajaran dapat berdampak pada perubahan perilaku siswa tidak pernah diperhatikan. Sehingga apa yang terjadi adalah kesenjangan antara pengetahuan moral dan prilaku," katanya.

Ia mengatakan, salah satu solusi untuk membuat pendidikan moral menjadi efektif adalah dengan melakukan pendidikan karakter, karena pendidikan moral bisanya hanya menyentuh aspek pengetahuan, belum sampai pada aspek prilaku.

Sedangkan pendidikan karakter membentuk perilaku siswa menjadi lebih bermoral, karena seseorang dapat disebut sebagai orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.

"Sedangkan pendidikan moral misalnya dalam pendidikan pancasila, tidak menandai watak perilaku sebagai keberhasilan proses pembelajaran, tetapi cukup sampai pada sejauh mana anak didik mengetahui yaitu dengan pendekatan hafalan dan sedikit analisis," katanya.

KOMENTAR:
Ya, memang terlihat jelas ada kesenjangan antara pengetahuan moral dan perilaku siswa. Siswa hanya menghafalkan saja pengetahuan moral yang diperolehnya dengan tujuan mendapatkan nilai yang baik, tanpa mempraktikkannya dalam tindakan dan perilaku mereka sehari-hari. Mungkin memang akan lebih baik jika pendidikan karakter mulai segera dijalankan ditiap jenjang pendidikan agar institusi pendidikan  dapat mewujudkan tujuan pendidikan yang ada.

 
DAFTAR PUSTAKA

Ahmat.2010. Sistem Pendidikan di Indonesia. http://www.berani.co.id/Artikel_Detail.aspx?ID=3455&URLView=Arsip_Laporan_Khusus.aspx. Diakses tanggal 14 januari 2011.
Anonim.2010a. Kemanakah Arah Perahu Pendidikan
Anonim.2010b. Pendidikan di Indonesia Memprihatinkan.http://bataviase.co.id/node/240975. Diakses tanggal 12 Januari 2011.
Anonim.2010c. Sistem Pendidikan Gagal Bentuk Karakter Siswa.http://www.antaranews.com/berita/1286279999/sistem-pendidikan-gagal-bentuk-karakter-siswa. Diakses tanggal 12 Januari 2011.
Basri, Ahmad Hasan. 2010.Mau Dibawa Kemana Pendidikan di Indonesia. http://www.beritajatim.com/citizenjurnalism.php?newsid=704. Diakses pada 12 Januari 2011.
Ganis. 2010. Masalah Pendidikan di Indonesia. http://ganis.student.umm.ac.id/2010/01/26/mahalnya-biaya-sekulah-di-masa-sekarang/. Diakses tanggal 11 Januari 2011.
Maria, Dea Wrestiningtyas. 2009. Menilik Berubah-ubahnya Sistem Pendidikan di Indonesia. http://www.kulinet.com/baca/menilik-berubah-ubahnya-sistem-pendidikan-di-indonesia/601/. Diakses tanggal 12 Januari 2011.
Prasetya, Nicholaus. 2009. Membenahi Sistem Pendidikan di Indonesia. http://edukasi.kompasiana.com/2009/06/14/membenahi-sistem-pendidikan-di-indonesia/. Diakses tanggal 11 Januari 2011.
Setyowati.2009. Pendidikan Belum Merata-Guru Harus Siap Mengabdi di Desa. http://kesekolah.com/article-and-news/detail/4053-pendidikan-belum-merata-guru-harus-siap-mengabdi-di-desa.html. Diakses tanggal 12 Januari 2011.














0 komentar:

About this Blog

Seguidores

Blog Archive

    © Summervina. Friends Forever Template by Emporium Digital 2009

Back to TOP